TUGAS MAKALAH
PERTAMBANGAN
                        NAMA                         : Eko Budi Prasetyo
                        KELAS                                    : 2IB04
                        NPM                            : 12415155
UNIVERSITAS
GUNADARMA
2016
2016
KATA PENGANTAR 
Puji syukur kehadirat
Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmat-NYA sehingga makalah ini dapat tersusun
hingga selesai. Tidak lupa saya juga mengucapkan banyak terima kasih atas
bantuan teman-teman dan guru pembimbingan Bpk. Andi Asnur Pranata Muhibah
Hadmar.
Dan harapan saya semoga
makalah ini dapat menambah pengetahuan dan pengalaman bagi para pembaca, untuk
ke depannya dapat memperbaiki bentuk maupun menambah isi makalah agar menjadi
lebih lagi
Karena keterbatasan pengetahuan maupun pengalaman
saya, Oleh karena itu saya sangat mengharapkan saran dan kritik yang membangun
dari pembaca demi kesempurnaan makalah ini
Bekasi,
November 2016
                                                                                                                   
Penyusun
(Eko
Budi Prasetyo)
BAB I
PENDAHULUAN
A.      Latar
Belakang
Tidak bisa dipungkiri
bahwa kebutuhan manusia semakin beragam salah satunya adalah kebutuhan
papan/tempat tinggal. Meningkatnya jumlah penduduk menjadi faktor utama
meningkatnya kebutuhan pemukiman. Guna memenuhi kebutuhan lahan yang semakin
lama makin sempit maka manusia dengan berbagai cara melakukan perluasan lahan
yaitu dengan menambang/mengepras gunung dan perbukitan. Kehidupan di era modern
tidak luput dengan industri untuk memproduksi barang/jasa. Semakin pesatnya
pertumbuhan kota maka lahan makin terbatas dan kebutuhan lahan untuk industri
di kota-kota besar dipenuhi dengan reklamasi dan penambangan mineral bukan
logam. (Almaida, 2008).
Berlakunya
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, memberikan
kewenangan pengelolaan sumber daya alam khususnya pertambangan kepada
masing-masing daerah. Kewenangan untuk pengelolaan pertambangan dari tingkat
pusat hingga kabupaten/kota telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009
tentang Pertambangan Mineral dan Batubara. Dengan adanya dua peraturan tersebut
seharusnya semakin memperkuat posisi pemerintah daerah dalam hal ini pemerintah
tingkat Kabupaten/Kota. Namun, sangat disayangkan pemerintah Kabupaten/Kota
belum memaksimalkan kekuatan hukum ini dalam penegakan upaya pengelolaan pertambangan
yang ramah lingkungan.
Secara ekonomi,
kegiatan penambangan mampu mendatangkan keuntungan yang sangat besar yaitu
mendatangkan devisa dan menyerap tenaga kerja sangat banyak dan bagi
Kabupaten/Kota bisa meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) dengan kewajiban
pengusaha membayar retribusi dan lain-lain. Namun, keuntungan ekonomi yang
didapat tidak sebanding dengan kerusakan lingkungan akibat kegiatan penambangan
yang syarat dengan eksplorasi dan eksploitasi sumber daya alam. (Hasibuan,
2006).
Menurut Dyahwanti
(2007), berdasarkan perhitungan pendapatan yang diperoleh serta biaya kerugian
lingkungan yang ada maka diperoleh nilai perbandingan sebesar 0.67. Angka ini
menunjukkan bahwa nilai pendapatan tiap tahun yang diperoleh dari kegiatan
penambangan pasir sesungguhnya sangat kecil dan tidak sebanding dengan total
kerugian lingkungan yang terjadi. Padahal kerugian tersebut belum termasuk
adanya perkiraan biaya lingkungan dari total erosi yang terjadi, polusi udara,
biaya menyusutnya air serta biaya reklamasi lahan. Reklamasi lahan yang
merupakan kegiatan pemulihan dari tanah kritis dan mati menjadi tanah produktif
sangat mahal dari segi biaya, tenaga dan waktu. Memerlukan waktu tersendiri
untuk menghitung biaya reklamasi lahan bekas penambangan pasir. Jadi apabila
dihitung keseluruhan biaya kerugian lingkungan yang terjadi dengan adanya
kegiatan penambangan pasir akan menghasilkan nilai yang sangat kecil dan tidak
berarti sama sekali. Manfaat yang diperoleh dari kegiatan penambangan pasir
tidak akan ada artinya bila dibandingkan dengan nilai kerugian lingkungan yang
terjadi secara keseluruhan.
Walaupun kegiatan
penambanga sudah diatur secara jelas dalam Undang-Undang, akan tetapi
permasalahan lingkungan tetap saja terjadi hal ini dikarenakan penggalian bahan
mineral bukan logam (pasir, kerikil, tanah timbun) tidak terkendali dan tidak
terawasi. Seperti yang terjadi di Kabupaten Buru dari lokasi penambangan yang
terdapat pada kecamatan waeapo tersebut tidak memiliki Surat Izin Penambangan
Daerah (SIPD).
Akibat penambangan ini
mengakibatkan terjadinya pengikisan terhadap humus tanah, yaitu lapisan teratas
dari permukaan tanah yang mengandung bahan organik yang disebut dengan unsur
hara dan berwarna gelap karena akumulasi bahan organik di lapisan ini yang merupakan
tempat tumbuhnya tanaman sehingga menjadi subur. Lapisan humus ini banyak
digunakan oleh masyarakat untuk menyuburkan pekarangan rumah. Adanya
lubang-lubang bekas penambangan mengakibatkan lahan tidak bisa dipergunakan
lagi (menjadi lahan yang tidak produktif), pada saat musim hujan lubang-lubang
akan digenangi air sehingga berpotensi sumber penyakit karena menjadi sarang
nyamuk. Di Daerah Aliran Sungai (DAS) mengalami perubahan yaitu permukaan
sungai melebar yang dapat mengakibatkan erosi. (Hasibuan, 2006).
Kegiatan penambangan
emas dalam hal ini akan menjadikan rusaknya lingkungan sehingga berpotensi
menimbulkan bencana bagi daerah yang berada disekitarnya. Kegiatan penambangan
emas dengan laju erosi dan Tingkat Bahaya Erosi (TBE) tinggi membahayakan
menyebabkan sebagian tanah yang berada di sekitarnya, terutama yang berada di
bagian atas akan mengalami longsor. Hal seperti ini jelas sangat berbahaya dan
menimbulkan ketakutan pada pemilik tanah sekitar yang tanahnya belum digali.
Hal ini terjadi karena penambang tidak menerapkan sistem teras pada tanah
sekitarnya sehingga terbentuk tebing yang tinggi. Keuntungan ekonomi yang
diperoleh secara sepintas tampak menguntungkan namun apabila dikaji lebih dalam
dan dibandingkan dengan kerugian lingkungan dalam rupiah maka tampak jelas
bahwa tidak ada keuntungan yang diperoleh. (Dyahwanti, 2007).
Diperlukan ketegasan
dan keberanian dari aparat pemerintah dalam menangani permasalahan ini. Jika
upaya penyelamatan lingkungan terhadap daerah konservasi masih setengah hati
maka sumber daya alam yang ada saat ini kemungkinan tidak akan dirasakan oleh
generasi mendatang. Usaha untuk melakukan pengelolaan lingkungan sudah
berkali-kali didesak oleh BLH Kabupaten Buru terhadap penambang seperti membuat
embung atau penambangan dilakukan dengan terasering, sehingga aktivitas mereka
tidak merawankan pekerja maupun warga sekitar. Pemerintah kabupaten juga
mendesak agar penambang maupun pemilik untuk merawat infrastruktur jalan di
lokasi penambangan . Lahan bekas penambangan agar dikembalikan lagi seperti
semula dengan melakukan reboisasi. (Suara Merdeka, 2012).
B.     
Perumusan Masalah
Penambangan emas di
Kecamatan Waeapo, kabupaten Buru mempunyai potensi yang signifikan terhadap
kerusakan lingkungan. Kecamatan Waeapo merupakan daerah permukiman yang cukup
padat. Melihat kenyataan yang ada, mendorong penulis untuk melakukan kajian dan
mengevaluasi seberapa jauh kerusakan lingkungan fisik dan sosial yang terjadi
dan rumusan pengelolaan lingkungan. 
Dari rumusan masalah
tersebut, maka pertanyaan penelitiannya adalah sebagai berikut :
1)             Bagaimana kerusakan lingkungan fisik yang terjadi akibat
kegiatan penambangan mineral bukan logam di Kecamatan Waeapo?
2)             Bagaimana dampak sosial akibat penambangan mineral bukan logam
terhadap masyarakat di Kecamatan Waeapo?
3)             Bagaimana rumusan pengelolaan lingkungan di lokasi penambangan?
C.     
Tujuan Penelitian
Tujuan yang hendak
dicapai dalam kegiatan penelitian ini adalah :
1.             Mengkaji kerusakan lingkungan fisik akibat penambangan mineral
bukan logam di Kecamatan Waeapo.
2.             Mengkaji dampak sosial akibat penambangan mineral bukan logam
terhadap masyarakat di Kecamatan Waeapo.
3.             Merumuskan usulan pengelolaan lingkungan di lokasi penambangan.
D.      Manfaat
Penelitian
Penelitian ini sangat
bermanfaat bagi :
1.             Pemerintah Kabupaten Buru : Dapat dijadikan sebagai acuan dalam
merencanakan kebijakan pengelolaan lingkungan hidup. Pembelajaran yang muncul diharapkan
dapat menjadi sumber inspirasi bagi wilayah lain yang memiliki permasalahan
serupa.
2.             Penulis : Dapat menambah wawasan pengetahuan tentang pengelolaan
lingkungan penambangan mineral bukan logam secara baik dan benar.
3.             Ilmu Pengetahuan :Bermanfaat untuk pengembangan konsep akademis
dibidang pengelolaan lingkungan utamanya terkait dengan konsep pengelolaan
penambangan mineral bukan logam secara baik dan benar.
BAB II
PEMBAHASAN
A.           Definisi Pertambangan
Dalam Undang-Undang
Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara Pasal 1 butir (1)
disebutkan pertambangan adalah sebagian atau seluruh tahapan kegiatan dalam
rangka penelitian, pengelolaan, dan pengusahaan mineral atau batu bara yang
meliputi penyelidikan umum, eksplorasi, studi kelayakan, konstruksi,
penambangan, pengolahan dan pemurnian, pengangkutan dan penjualan, serta
kegiatan pasca tambang.
B.            Usaha pertambangan
Undang-Undang Nomor 4
Tahun 2009 Usaha pertambangan adalah kegiatan dalam rangka pengusahaan mineral
atau batubara yang meliputi tahapan kegiatan penyelidikan umum, eksplorasi,
studi kelayakan, kostruksi, penambangan, pengolahan dan pemurnian, pengangkutan
dan penjualan, serta pasca tambang. Dari pengertian tersebut dapat disimpulkan
bahwa usaha pertambangan bahan-bahan galian dibedakan menjadi 8 (delapan) macam
yaitu:
1)             Penyelidikan umum, adalah tahapan kegiatan pertambangan untuk
mengetahui kondisi geologi regional dan indikasi adanya mineralisasi.
2)             Eksplorasi, adalah tahapan kegiatan usaha pertambangan untuk
memperoleh informasi secara terperinci dan teliti tentang lokasi, bentuk,
dimensi, sebaran, kualitas, dan sumber daya terukur dari bahan galian, serta
informasi mengenai lingkungan sosial dan lingkungan hidup.
3)             Operasi produksi, adalah tahapan kegiatan usaha pertambangan
yang meliputi konstruksi, penambangan, pengolahan, pemurnian, termasuk
pengangkutan dan penjualan, serta sarana pengendalian dampak lingkungan sesuai
dengan hasil studi kelayakan.
4)             Konstruksi, adalah kegiatan usaha pertambangan untuk melakukan
pembangunan seluruh fasilitas operasi produksi, termasuk pengendalian dampak
lingkungan.
5)             Penambangan, adalah bagian kegiatan usaha pertambangan untuk
memproduksi mineral dan/atau batu bara dan mineral ikutannya.
6)             Pengolahan dan pemurnian, adalah kegiatan usaha pertambangan
untuk meningkatkan mutu mineral dan/atau batu bara serta untuk memanfaatkan dan
memperoleh mineral ikutan.
7)             Pengangkutan, adalah kegiatan usaha pertambangan untuk
memindahkan mineral dan/atau batu bara dari daerah tambang dan/atau tempat
pengolahan dan pemurnian sampai tempat penyerahan.
2)             Penjualan, adalah kegiatan usaha pertambangan untuk menjual
hasil pertambangan mineral atau batubara.\
Usaha pertambangan ini
dikelompokkan atas:
a.              Pertambangan mineral; dan
Mineral adalah senyawa
anorganik yang terbentuk di alam, yang memiliki sifat fisik dan kimia tertentu
serta susunan kristal teratur atau gabungannya yang membentuk batuan, baik
dalam bentuk lepas atau padu. Pertambangan mineral adalah pertambangan kumpulan
mineral yang berupa bijih atau batuan, di luar panas bumi, minyak dan gas bumi,
serta air tanah.Pertambangan mineral digolongkan atas:
a.             Pertambangan mineral radio aktif;
b.             Pertambangan mineral logam;
c.             Pertambangan mineral bukan logam;
d.            Pertambangan batuan.
b.             Pertambangan batubara.
Batubara adalah
endapan senyawa organik karbonan yang terbentuk secara alamiah dari sisa
tumbuh-tumbuhan. Pertambangan batubara adalah pertambangan endapan karbon yang
terdapat di dalam bumi, termasuk bitumen padat, gambut, dan batuan aspal.
C.           Konsep Pengelolaan Pertambangan
Menurut Sudrajat
(2010), cap atau kesan buruk bahwa pertambanganmerupakan kegiatan usaha yang
bersifat zero value sebagai akibat dari kenyataan
berkembangnya kegiatan penambangan yang tidak memenuhi kriteria dan
kaidahkaidah teknis yang baik dan benar, adalah anggapan yang segera harus
segera diakhiri. Caranya adalah melakukan penataan konsep pengelolaan usaha
pertambangan yang baik dan benar. Menyadari bahwa industri pertambangan adalah
industri yang akan terus berlangsung sejalan dengan semakin meningkatnya
peradaban manusia, maka yang harus menjadi perhatian semua pihak adalah
bagaimana mendorong industri pertambangan sebagai industri yang dapat
memaksimalkan dampak positif dan menekan dampak negatif seminimal mungkin
melalui konsep pengelolaan usaha pertambangan berwawasan jangka panjang.
Berdasarkan pada
pengamatan dan pengalaman Sudrajat (2010), yang bergelut dalam dunia praktis di
lapangan, munculnya sejumlah persoalan yang mengiringi kegiatan usaha
pertambangan di lapangan diantaranya :
a.              Terkorbankannya pemilik lahan
Kegiatan usaha
pertambangan adalah kegiatan yang cenderung mengorbankan kepentingan pemegang
hak atas lahan. Hal ini sering terjadi lantaran selain kurang bagusnya
administrasi pertanahan di tingkat bawah, juga karena faktor budaya dan adat
setempat. Kebiasaan masyarakat adat di beberapa tempat dalam hal penguasaan hak
atas tanah biasanya cukup dengan adanya pengaturan intern mereka, yaitu saling
mengetahui dan menghormati antara batas-batas tanah. Keadaan tersebut kemudian
dimanfaatkan oleh sekelompok orang dengan cara membuat surat tanah dari desa
setempat.
b.             Kerusakan lingkungan
Kegiatan usaha
pertambangan merupakan kegiatan yang sudah pasti akan menimbulkan kerusakan dan
pencemaran lingkungan adalah fakta yang tidak dapat dibantah. Untuk mengambil
bahan galian tertentu, dilakukan dengan melaksanakan penggalian. Artinya akan
terjadi perombakan atau perubahan permukaan bumi, sesuai karakteristik
pembentukan dan keberadaan bahan galian, yang secara geologis dalam
pembentukannya harus memenuhi kondisi geologi tertentu.
c.              Ketimpangan sosial
Kebanyakan kegiatan
usaha pertambangan di daerah terpencil dimana keberadaan masyarakatnya masih
hidup dengan sangat sederhana, tingkat pendidikan umumnya hanya tamatan SD, dan
kondisi sosial ekonomi umumnya masih berada di bawah garis kemiskinan. Di lain
pihak, kegiatan usaha pertambangan membawa pendatang dengan tingkat pendidikan
cukup, menerapkan teknologi menengah sampai tinggi, dengan budaya dan kebiasaan
yang terkadang bertolak belakang dengan masyarakat setempat. Kondisi ini
menyebabkan munculnya kesenjangan sosial antara lingkungan pertambangan 
dengan masyarakat di sekitar usaha pertambangan berlangsung.
Berangkat dari ketiga
permasalahan pertambangan tersebut, Sudrajat (2010), menyatakan bahwa dalam
menjalankan pengelolaan dan pengusahaan bahan galian harus dilakukan dengan
cara yang baik dan benar (good mining practice). Good
mining practice meliputi :
1.             Penetapan wilayah pertambangan,
2.             Penghormatan terhadap pemegang hak atas tanah,
3.             Aspek perizinan,
4.             Teknis penambangan,
5.             Keselamatan dan kesehatan kerja (K3),
6.             Lingkungan,
7.             Keterkaitan hulu-hilir/konservasi/nilai tambah,
8.             pengembangan masyarakat/wilayah di sekitar lokasi kegiatan,
9.             Rencana penutupan pasca tambang,
10.         Standardisasi.
D.           Kebijakan Pengelolaan Lingkungan
Salah satu tujuan
pembangunan nasional adalah meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang
berkeadilan dan berprikemanusiaan. Ketersediaan sumberdaya alam dalam
meningkatkan pembangunan sangat terbatas dan tidak merata, sedangkan permintaan
sumberdaya alam terus meningkat, akibat peningkatan pembangunan untuk memenuhi
kebutuhan penduduk. (Syahputra, 2005) Syahputra (2005), menambahkan pula bahwa
dalam rangka upaya mengendalikan pencemaran dan kerusakan lingkungan akibat
pembangunan maka, perlu dilakukan perencanaan pembangunan yang dilandasi
prinsip pembangunan berkelanjutan. Prinsip pembangunan berkelanjutan dilakukan
dengan memadukan kemampuan lingkungan, sumber daya alam dan teknologi ke dalam
proses pembangunan untuk menjamin generasi masa ini dan generasi masa
mendatang.
Dalam peraturan
pemerintah Republik Indonesia Nomor 78 Tahun 2010 tentang reklamasi dan pasca
tambang prinsip perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup pertambangan
meliputi :
1.             Perlindungan terhadap kualitas air permukaan, air tanah, air
laut, dan tanah serta udara berdasarkan standar baku mutu atau kriteria baku
kerusakan lingkungan hidup sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan;
2.             Perlindungan dan pemulihan keanekaragaman hayati;
3.             Penjaminan terhadap stabilitas dan keamanan timbunan batuan
penutup, kolam tailing, lahan bekas tambang, dan struktur buatan lainnya;
4.             Pemanfaatan lahan bekas tambang sesuai dengan peruntukannya;
5.             Memperhatikan nilai-nilai sosial dan budaya setempat; dan
6.             Perlindungan terhadap kuantitas airtanah sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
Kebijakan lingkungan
berlandaskan pada manajemen lingkungan dan tergantung pada tinggi rendahnya
orientasi. Orientasi kebijakan lingkungan yang umum dikenal adalah orientasi
kebijakan memenuhi peraturan lingkungan (compliance oriented) dan
yang berusaha melebihi standar peraturan tersebut (beyond compliance).
Para pemangku kepentingan dalam kegiatan penambangan mineral bukan logam adalah
para pengambil kebijakan yang sudah seharusnya memprioritaskan pengelolaan
lingkungan pada level tertinggi.
Kebijakan yang
berorientasi pada pemenuhan peraturan perundangundangan (regulation
compliance) merupakan awal pemikiran manajemen lingkungan. Perusahaan
berusaha semaksimal mungkin untuk menghindari penalti-denda lingkungan, klaim
dari masyarakat sekitar, dll. Kebijakan ini menggunakan metoda reaktif, ad-hoc dan
pendekatan end of pipe (menanggulangi masalah polusi dan
limbah pada hasil akhirnya, seperti lewat penyaring udara, teknologi pengolah
air limbah dll). (Purwanto, 2002)
Kebijakan yang
berorientasi setelah pemenuhan berangkat dari cara tradisional dalam menangani
isu lingkungan karena cara reaktif, ad-hoc dan pendekatan end
of pipe terbukti tidak efektif. Seiring kompetisi yang semakin
meningkat dalam pasar global yang semakin berkembang, hukum lingkungan dan
peraturan menerapkan standar baru bagi sektor bisnis diseluruh bagian dunia.
(Purwanto 2002). Soerjani (2007), menyatakan bahwa pengelolaan lingkungan
ditujukan kepada perilaku dan perbuatan yang ramah lingkungan dalam semua
sektor tindakan. Jadi, istilah lingkungan tidak boleh diobral sehingga maknanya
menjadi kabur atau bahkan hilang artinya. Teknologi harus ramah lingkungan,
jadi tidak perlu ada teknologi lingkungan, karena teknologi memang sudah harus
ramah lingkungan. Demikian pula dengan kesehatan lingkungan. Perilaku ekonomi
juga harus ramah lingkungan, artinya hemat sumber daya (tenaga, pikiran, materi
dan waktu dengan hasil kegiatan yang optimal).
E.            Pendekatan Pengelolaan Lingkungan
Keputusan Menteri
Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor :1453.K/29/MEM/2000 membagi pendekatan pengelolaan
lingkungan ke dalam 3 jenis :
1.             Pendekatan Teknologi
Memuat semua
cara/teknik pengelolaan lingkungan fisik maupun biologi yang direncanakan
/diperlukan untuk mencegah/mengurangi/menanggulangi dampak kegiatan
Pertambangan sehingga kelestarian lingkungan lebih lanjut dapat dipertahankan
dan bahkan untuk memperbaiki/meningkatkan daya dukungnya seperti :
a)             Pencegahan erosi, longsoran dan sedimentasi dengan penghijauan
dan terasering.
b)            Penggunaan lahan secara terencana dengan memperhatikan
konservasi lahan.
c)             Mengurangi terjadinya pencemaran pantai laut, apabila lokasi
kegiatan terletak ditepi pantai
d)            Membangun kolam pengendapan disekitar daerah kegiatan untuk
menahan lumpur oleh aliran permukaan
e)             Membuat cek dam dan turap
f)             Penimbunan kembali lubang-lubang bekas tambang
g)            Penataan lahan
2.             Pendekatan Ekonomi Sosial dan Budaya
Pada bagian ini
dirinci semua bantuan dan kerjasama aparatur pemerintah terkait yang diperlukan
oleh pemprakarsa untuk menanggulangi dampak-dampak lingkungan kegiatan
Pertambangan ditinjau dari segi biaya, kemudahan, sosial ekonomi, misalnya :
1.             Bantuan biaya dan kemudahan untuk operasi pengelolaan lingkungan
a)             Kemudahan/keringanan bea masuk pengadaan peralatan
b)             Keringanan syarat pinjaman/kredit bank
c)             Kebijaksanaan dan penyelenggaraan penyaluran penduduk yang
tergusur dari lahan tempat tinggalnya atau lahan mata pencahariannya
2.             Penanggulangan masalah sosial, ekonomi dan sosial budaya, antara
lain:
a)             Pelaksanaan ganti rugi ditempuh dengan cara-cara yang tepat
b)             Kebijaksanaan dan penyelenggaraan penyaluran penduduk yang tergusur
dari lahan tempat tinggalnya atau lahan mata pencahariannya
c)             Pendidikan dan pelatihan bagi penduduk yang mengalami perubahan
pola kehidupan dan sumber penghidupan
d)            Penggunaan tenaga kerja setempat yang bila perlu didahului
dengan latihan keterampilan
e)             Penyelamatan benda bersejarah dan tempat yang dikeramatkan
masyarakat
3.             Pendekatan Institusi
Pada bagian ini
dirinci kegiatan setiap instansi/badan/lembaga lain yang terlibat/ perlu
dilibatkan dalam rangka pelaksanaan pembangunan dan kegiatan penanggulangan
dampak rencana kegiatan pertambangan umum ditinjau dari segi kewenangan,
tanggung jawab dan keterkaitan antar instansi/badan/lembaga, misalnya :
a)             Pengembangan mekanisme kerjasama/koordinasi antar instansi
Peraturan perundang-undangan yang menunjang pengelolaan lingkungan
b)            Pengawasan baik intern maupun ekstern yang meliputi pengawasan
oleh aparat pemerintah dan masyarakat
c)             Perencanaan prasarana dan sarana umum, baik relokasi maupun baru
F.            Rehabilitasi Lahan
Reklamasi Lahan Pasca
Penambangan adalah suatu upaya pemanfaatan lahan pasca penambangan melalui rona
perbaikan lingkungan fisik terutama pada bentang lahan yang telah dirusak.
Upaya ini dilakukan untuk mengembalikan secara ekologis atau difungsikan
menurut rencana peruntukannya dengan melihat konsep tata ruang dan kewilayahan
secara ekologis. Kewajiban reklamasi lahan bisa dilakukan oleh pengusaha secara
langsung mereklamasi lahan atau memberikan sejumlah uang sebagai jaminan akan
melakukan reklamasi. Yudhistira, (2008).
Berdasarkan data dari
Departemen Energi dan Sumberdaya Mineral pada Tahun 2005 terdapat 186
perusahaan tambang yang masih aktif dengan total luas areal sekitar 57.703 ha
dan hanya 20.086 ha yang telah direklamasi oleh para perusahaan yang memperoleh
kontrak pada lahan tersebut. Sebagian lahan tersebut dikembalikan kepada petani
untuk diusahakan kembali menjadi lahan pertanian. Sebagian pengusaha tidak
mereklamasi lahan dan meninggalkan begitu saja.
Almaida (2008),
Kewajiban pasca tambang yang bersifat fisik mempunyai dimensi ekonomi dan
sosial yang sangat tinggi dan berpotensi menimbulkan konflik pada masyarakat
dengan pemerintah dan juga usaha pertambangan. Oleh karena itu pengelolaan
pasca tambang bukan merupakan masalah fisik, tetapi merupakan political
will pemerintah untuk meregulasi secara benar dengan memperhatikan
kaidah lingkungan. Kemudian mengimplementasikannya dengan mengedepankan
kepentingan masyarakat lokal dan mengacu kepada falfasah ekonomi dan sosial
serta akuntabilitas yang dapat dipercaya.
BAB III
PENUTUP
A.      Kesimpulan
Pemanfaatan sumber
daya alam haruslah tetap berpijak pada kaidah-kaidah pembangunan yang bertumpu
pada masyarakat. Hal ini akan tercermin dalam implementasigood
governance (tata kelola pemerintahan yang baik). Dalam pengelolaan sumber
daya alam pemerintah pusat dan daerah mempunyai kewenangan penuh, sehingga
untuk kedepannya harus berhati-hati dalam menentukan kerjasama dengan investor
asing. Sumber daya alam yang ada di Indonesia harus berpihak kepada kemakmuran
masyarakat dan kesejahteraan masyarak, peningkatan ekonomi masyarakat, serta
kesejahteraan masyarakat Indonesia sendiri.
Masih lemahnya
penerapan prinsip-prinsip good governance dalam hal pengelolaan
sumber daya ekonomi strategis sektor pertambangan, diantaranya adalah sebagai
berikut:
1)             Transparansi, dalam pemberian perizinan
pertambangan  belum ada keterbukaan yang
berbentuk  kemudahan akses  informasi bagi masyarakat
terhadap proses pemberian perizinan pertambangan dan juga dalam melihat dampak
dari pemberian izin tersebut.
2)             Akuntabilitas, tidak adanya tanggungjawab perusahaan asing
terhadap masyarakat sekitar dan lingkungan, sehingga yang terjadi banyak
kerusakan alam akibat dari eksploitasi pertambangan yang dilakukan oleh asing,
selain kerusakan alam juga terjadi pencemaran lingkungan hidup yang mengancam
hajat hidup orang banyak.
3)             Partisipasi, belum adanya keterlibatan masyarakat dalam
pembentukan kebijakan publik yang akan diimplementasikan kepada masyarakat.
Sehingga masyarakat tidak bisa berpartisipasi dalam pengambilan kebijakan yang
menyangkut hajat hidup orang banyak. Hal ini sudah terbukti dengan UU
no.10/2001, belum memberikan sarana untuk partisipasi masyarakat dlm pembuatan
berbagai perat perund-undangan. UU no. 11/1967, tidak memberikan sama sekali kesempatan kepada
masy utk turut berpartisipasi di bidang pertambangan.
UU no.4/2009, tidak memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk
berpartisipasi dalam pengambilanm kebijakan di bidang pertambangan.
4)             Rule of law atau ketidakadilan, penerapan peraturan dan
perundang-undangan yang belum jelas, masih banyaknya tumpang tindih peraturan
yang mengatur tentang pengelolaan pertambangan baik peraturan daerah maupun
peraturan pusat.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar